Pertambangan Indonesia Hadapi Dilema
Tunda Investasi atau Ubah Status Hutan Lindung
SEDIKITNYA 150 perusahaan tambang
menunda investasi di Indonesia, karena wilayah pertambangan yang sudah
diberikan pemerintah ternyata ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
Pemerintah menghadapi dilema, apakah fungsi hutan lindung akan diubah
menjadi hutan produksi, sebab harus memilih, mengubah kebijakan menjaga
kelestarian hutan atau membiarkan untuk usaha pertambangan terbuka
dengan risiko kerusakan lingkungan.Persoalan mandeknya investasi tambang
akibat status hutan lindung, dipicu lahirnya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 (UU No 41/1999) mengenai Kehutanan. Dalam UU tersebut sudah
jelas penegasan bahwa tidak boleh dilaksanakan pertambangan terbuka di
atas hutan lindung.
Pada Pasal 19 UU No 41/1999, Ayat (1)
disebutkan bahwa "Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan,
ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian
terpadu"; Ayat (2) disebutkan "perubahan peruntukan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan
luas, serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)"; Ayat (3) disebutkan bahwa
"ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan
perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Dalam penjelasan undang-undang
tersebut, disebutkan bahwa penelitian terpadu dilaksanakan untuk
menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian. Oleh karena itu,
penelitian diselenggarakan oleh lem-baga pemerintah yang mempunyai
kompetensi dan otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang
terkait.
Sementara, yang dimaksud dengan
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, adalah
perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik, seperti perubahan
iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi
masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan
datang.
Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral
(GSDM) Wimpy S Tjetjep, mengakui, sektor pertambangan di Indonesia
memang berada pada kondisi yang sangat sulit berkembang. Sektor
pertambangan mendapat tantangan yang sangat besar bukan hanya dari
lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun datang dari pemerintah daerah
(pemda) maupun departemen lain yang terkait.
Namun, tertahannya investasi dari 150
proyek tambang baru dan perluasan tambang, hanya salah satu masalah yang
dihadapi oleh dunia pertambangan di Indonesia. Pada tahun 2001,
industri pertambangan Indonesia juga menghadapi tantangan baru, di
antaranya tekanan masalah harga mineral, situasi politik, ekonomi dan
sosial yang berkelanjutan di Indonesia.
Bersamaan dengan ketidakpastian iklim
perundang-undangan, tampaknya akan memberikan dampak negatif kepada
industri pertambangan secara keseluruhan. Peraturan yang tumpang tindih,
sering membuat pengusaha pertambangan kesulitan dalam melaksanakan
kegiatannya.
Tidak dapat dimungkiri, perusahaan
asing telah menjadi katalisator bagi pembangunan sebagian besar dari
industri pertambangan Indonesia. Sebagai catatan penting, pada tahun ini
keputusan tentang kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC)-dimiliki
bersama Rio Tinto dan BP-kemungkinan akan menimbulkan konsekuensi yang
luas kepada industri, maupun bagi Indonesia dalam arti yang luas.
Masalah KPC yang dianggap dapat
mengancam daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi pertambangan,
adalah masalah gugatan Pemda Kalimantan Timur terhadap KPC atas kasus
divestasi 51 persen saham KPC. Pemegang saham KPC menilai, langkah Pemda
Kaltim yang mengajukan gugatan perdata sebagai cermin dari ancaman
investasi bagi investor asing di Indonesia.
Direktur KPC, Lex Graefe, beberapa
waktu lalu mengatakan, bila cara semacam ini terus dipakai oleh pemda,
tidak mustahil para investor akan hengkang. Selain mencemaskan investor,
tindakan tersebut juga dapat mengganggu jalannya investasi ke Indonesia
di masa mendatang.
***
PADAHAL, tahun 2002 menjadi harapan,
agar produksi tambang Indonesia dapat meningkat, khususnya dengan adanya
peserta baru yang akan memaksimalkan operasinya. Dengan cara
memanfaatkan kelebihan kapasitas industri, terutama di sektor batu bara
dengan terjadinya perbaikan harga batu bara dunia belakangan ini.
Namun, banyak persoalan, khususnya
pada produksi batu bara yang terpengaruh kegiatan penambangan tanpa izin
(peti) yang jumlahnya belakangan ini meningkat secara signifikan di
Indonesia. Khususnya pada sektor timah dan batu bara, kecuali pemerintah
segera memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengatasi
masalah ini.
Investasi dalam industri pertambangan
Indonesia pada tahun 2002, juga diperkirakan akan merosot dengan tajam,
khususnya dalam pengeluaran untuk pengembangan dan untuk aktiva tetap.
Sementara itu, pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan
diperkirakan tetap berada pada tingkat rendah yang telah dialami sejak
tahun 1997.
Hal ini menjadi gambaran, kurangnya
proyek baru dan keinginan perusahaan pertambangan di Indonesia untuk
memusatkan perhatian kepada operasi mereka yang telah mapan. Kondisi
ini, diperkirakan akan berlanjut sampai adanya kejelasan mengenai iklim
perundang-undangan, serta stabilnya situasi politik dan ekonomi
Indonesia.
Dari survei yang dilakukan
PricewaterhouseCoopers terhadap 32 perusahaan pertambangan yang telah
berproduksi, dan lebih dari 250 perusahaan eksplorasi yang terlibat
dalam eksplorasi di Indonesia selama tahun 1996-2000, menunjukkan
pengeluaran industri tambang di Indonesia oleh responden terus merosot
pada tahun 2000. Dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1999 sebesar 2,53
milyar dollar AS, pengeluaran tahun 2000 turun 3 persen menjadi 2,46
milyar dollar AS.
Pengeluaran untuk eksplorasi dan studi
kelayakan mengalami penurunan yang jauh lebih besar. Pada tahun 1999
pengeluaran untuk sektor itu mencapai nilai sebesar 77,9 juta dollar AS,
tahun 2000 turun sebesar 14 persen menjadi 67,3 juta dollar AS. Angka
pada tahun 2000 itu mencerminkan hanya 42 persen dari puncak pengeluaran
untuk eksplorasi dan studi kelayakan yang terjadi pada tahun 1996,
tercatat pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan dalam tahun
1996-2000 mencapai 556,7 juta dollar AS.
Jumlah pengeluaran eksplorasi dan
studi kelayakan responden dalam persentase terhadap pengeluaran
eksplorasi dunia tidak bergerak dari tahun sebelumnya, yaitu 2,9 persen.
Dalam masa lima tahun tersebut, pengeluaran eksplorasi Indonesia
umumnya mengikuti kecenderungan dunia dalam persentase yang hampir
statis, berkisar 3,5 persen pada tahun 1996 sampai kepada yang terendah
2,7 persen pada tahun 1997.
Menurunnya pengeluaran eksplorasi ini
menimbulkan keprihatinan, karena keberhasilan jangka panjang industri
pertambangan Indonesia, bergantung kepada eksplorasi yang
berkesinambungan dan penemuan, serta pengembangan endapan baru. Tingkat
keberhasilan eksplorasi terhadap penemuan endapan yang ekonomis, beserta
dengan lamanya proses penemuan sampai kepada produksi, menekankan
pentingnya kegiatan eksplorasi dewasa ini.
Pengeluaran untuk pengembangan dan
aktiva tetap, mencapai 847,8 juta dollar AS pada tahun 2000, atau turun
sebesar 482,5 juta dollar AS dari tahun sebelumnya. Pengeluaran untuk
pengembangan turun 48 persen menjadi 191,2 juta dollar AS dan
pengeluaran untuk aktiva tetap turun 32 persen menjadi 656,6 juta dollar
AS, karena perusahaan pertambangan memusatkan pengeluaran investasi
mereka kepada proyek yang sudah "matang".
Program investasi utama yang
dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dalam beberapa tahun terakhir
ini, di antaranya perluasan Grasberg oleh Freeport dan Rio Tinto sebesar
satu milyar dollar AS, perluasan fasilitas pengolahan Inco Soroako
sebesar 0,6 milyar dollar AS dan Proyek Batu Hijau Newmont, sebesar dua
milyar dollar AS.
Tingkat investasi yang direncanakan
pada tahun 2001 menunjukkan penurunan 55 persen dari tingkat pengeluaran
tahun sebelumnya, dan penurunan 36 persen dari pengeluaran aktual
rata-rata dalam lima tahun sebelumnya. Penurunan jumlah investasi yang
direncanakan dibandingkan dengan tahun lalu dengan rata-rata empat tahun
sebelumnya terjadi dalam semua bagian investasi, terutama yang
berhubungan dengan aktiva tetap dan pengembangan.
Sembilan perusahaan yang telah
berproduksi dan tujuh perusahaan eksplorasi melaporkan rencana investasi
tahun 2001 sebesar 413 juta-226,4 juta dollar AS untuk aktiva tetap.
Lalu, 71,9 juta dollar AS untuk eksplorasi dan studi kelayakan, 74,7
juta dollar AS untuk kegiatan berhubungan dengan pertimbangan.
Penurunan yang signifikan pada rencana
investasi tahun 2001 tersebut, sebagian mencerminkan kekurangpercayaan
para investor. Hal ini disebabkan berlanjutnya ketidakstabilan politik
dan ekonomi di Indonesia, serta ketidakpastian di sekitar pemberlakuan
undang-undang pertambangan yang baru, dampak otonomi daerah, dan bentuk,
serta isi kontrak pertambangan generasi berikutnya.
Namun, ada juga pos pengeluaran yang
meningkat, sebab jumlah pembelian meningkat sebesar 38 persen menjadi
1.547,6 juta dollar AS pada tahun 2000. Peningkatan terjadi pada
barang-barang yang diimpor oleh perusahaan maupun yang dibeli di dalam
negeri. Masing-masing meningkat sebesar 46 persen menjadi 977,3 juta
dollar AS dan 38 persen menjadi 567,4 juta dollar AS. Meningkatnya
pembelian dalam negeri kembali memperlihatkan bahwa industri
pertambangan terus mendukung ekonomi Indonesia.
Namun, kenapa pemerintah terkait tidak
mencoba untuk berkoordinasi dalam upaya mempertahankan sektor ini tetap
menarik, bagi investor lokal maupun asing. Tentunya tanpa harus
mengabaikan hancurnya lingkungan, hanya karena ketidaktegasan hukum.
Ditambah lemahnya keteguhan para pejabat publik untuk memberlakukan
sanksi bagi perusahaan pertambangan yang jelas-jelas tidak kooperatif
dengan lingkungan, masyarakat sekitar, dan kepentingan ekonomi negara. (Buyung Wijaya Kusuma)
sumber:http://d/perpustakaan.bappenas.go.idlontar/file?file=digital/blob/F14893/Pertambangan%20Indonesia%20Hadapi%20Dilema.htm